Review Jurnal
Implementasi Convolutional
Code dan Viterbi Decode pada DSK TMS320C6416T[1]
Mohamad Ridwan
Julianto
Jurusan Teknik
Elektro, Fakultas Teknnologi Industri, Universitas Gunadarma
Jl. Margonda Raya
No. 100, Depok
Email: ridwan,joelyant7@gmail.com
Abstrak : Era teknologi pada
saat ini yang semakin terus berkembang, kini menggunakan teknologi dengan
sistem komunikasi digital. Hal tersebut berguna untuk memudahkan aktivitas
sehari-hari, misalnya untuk memantau suatu lingkungan dengan menggunakan satelit
cuaca atau satelit lainnya. Pada suatu sistem komunikasi sering terjadi
kesalahan yang mendasar dalam pengiriman atau penerimaan data yang bisa
berdampak sangat signifikan pada sistem komunikasi tersebut. Maka untuk
mendeteksi dan mengoreksi kesalahan tersebut, diperlukan suatu metode
pengkodean kanal pada sistem transmisi tersebut. Dalam jurnal ini menggunakan
konvolusi code untuk diimplementasikan pada sebuah DSP card seri TMS320C6416T,
hal tersebut guna mengatasi masalah tersebut. Kode konvolusi merupakan teknik Error Control Coding untuk mendeteksi dan mengkoreksi error pada
informasi akibat pengaruh noise. Hasil penelitian pada jurnal ini menunjukkan
bahwa suatu sistem yang menggunakan kode konvolusi dan viterbi decode dapat
menurunkan probabilitas error pada suatu sistem dibandingkan jika tidak
menggunakan kedua hal tersebut.
Kata Kunci : Kode konvolusi, Viterbi decode, DSK TMS320C4616T.
I. PENDAHULUAN
Pada suatu sistem
komunikasi sering terjadi kesalahan yang mendasar dalam pengiriman atau
penerimaan data yang bisa berdampak sangat signifikan pada sistem komunikasi
tersebut. Maka untuk mendeteksi dan mengoreksi kesalahan tersebut, diperlukan
suatu metode pengkodean kanal pada sistem transmisi tersebut.
Dalam jurnal ini
menggunakan konvolusi code untuk diimplementasikan pada sebuah DSP card seri
TMS320C6416T, hal tersebut guna mengatasi masalah tersebut. Kode konvolusi merupakan teknik Error Control Coding untuk mendeteksi dan mengkoreksi error pada
informasi akibat pengaruh noise.
Perangkat TMS320C6416T ini dipilih karena dapat melakukan pemrosesan data yang cepat yang diukur berdasarkan
waktu siklus setiap instruksinya. DSP card pada perangkat ini
ditanamkan sebuah algoritma encoder kode konvolusi yang menggunakan algoritma
Viterbi.
A. Kode Konvolusi
Kode
konvolusi adalah kode linear yang memiliki struktur tambahan dalam
generator matriks sehingga operasi pengkodean dapat dipandang sebagai filter
ataupun operasi konvolusi. Dalam prakteknya kode konvolusi banyak
diimplementasikan pada hardware yang di dalamnya tersedia encoding dan decoding.
Pengkodean
data dengan cara Konvolusi dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah register
geser dan logika kombinatorial terkait [2], yang menampilkan penjumlahan mod-2. (Sebuah register geser hanyalah rantai
dari flip flop dimana output dari n flip-flop terkait dengan masukan dari flip
flop (n +1). Saat aktif clock terjadi,masukan flip-flop dimasukkan melewati
keluaran, dan data digeser ke stage lain). Logika kombinatorial sering dalam
bentuk gerbang XOR.
Dua
komponen dasar dari kode konvolusi (register geser berisi flip flop dan gerbang
eksklusif-or diasosiasikan mod-2 adder). Didefinisikan bahwa sebuah kode
konvolusi untuk coderate 1/2 , K = 3, m = 2:
Gambar 1. Struktur kode
konvolusi rate ½ dengan m=2
Gambar
1 memperlihatkan sebuah encoder Konvolusi (2, 1, 3) atau sama halnya dengan n =
2, k = 1, dan m = 3. Setiap kali sebuah bit data dimasukkan ke register pertama
pada encoder, dua bit kode akan dihasilakan sebagai output secara berurutan.
Encoder
ditunjukkan di atas mengkodekan K = 3, (7, 5) kode Konvolusi. Angka-angka oktal
7 dan 5 mewakili polinomial generator kode, yang jika dibaca dalam biner (111
dan 101) sesuai dengan gerbang XOR, penambah atas dan bawah. Kode ini telah
menjadi kode "terbaik" untuk tingkat 1/2, K = 3.
Berdasarkan
pendefinisian bahwa kode Konvolusi adalah kode (n, k, m), dapat diketahui
parameter-parameter utama yang menjadi pilar utama dalam membangun kode
Konvolusi diantaranya :
1. Laju kode Konvolusi (R)
Laju
kode Konvolusi (R) merupakan rasio
antara masukan informasi bit dengan keluaran bit terkodekan dan mempunyai
persamaan (2.1) sebagai berikut :
R = k/n (2.1)
dengan, R
= Laju kode Konvolusi,
k = Jumlah bit input kode Konvolusi, n = Jumlah bit output kode Konvolusi.
2. Panjang Memori
(K)
Panjang
memori adalah jumlah elemen tundaan dalam kode Konvolusi yaitu memori dengan
masukan bit sekarang pada kode Konvolusi atau dapat disebut juga panjang kode
dari kode Konvolusi.
Panjang
memori dapat didefinisikan sebagai berikut
K = m
+1 (2.2)
dengan, K = Panjang memori,
m = Memori
Beberapa
metode yang berbeda bahkan dapat digunakan untuk menjabarkan diagram pohon
(tree diagram), diagram trellis (trellis diagram), diagram koneksi, Diagram
keadaan (state diagram), generator polinom,penjelasannya adalah :
•
Diagram State
State (keadaan atau
status) dari sebuah kode Konvolusi (n, 1, m) didefinisikan sebagai isi dari m –
1 register pertamanya. Sehingga, sebuah encoder Konvolusi dapat
direpresentasikan oleh sebuah mesin keadaan (m-1). Dengan mengetahui state
encoder di titik waktu berikutnya tersebut, beserta output yang akan
dihasilkan. State nol adalah keadaan dimana seluruh (m1) register pertama
encoder berisi nilai 0. Transisi dari satu state ke state berikutnya ditentukan
oleh bit apa (0 atau 1) yang akan menjadi input di waktu berikutnya terseut.
Kode Konvolusi biner memiliki 2M-1 kemungkinan keadaan (state). Representasi
diagram keadaan untuk kode Konvolusi dapat dilihat pada gambar 2.4. Krena untuk
encoder ini m=3 maka terdapat 4 state yang mungkin baginya, yang masing-masing
adalah a = 0 0, b = 1 0, c = 0 1, d = 1 1.
Gambar 2 Diagram
State
•
Generator Polinomial
(gn)
Generator polinomial
sangat dibutuhkan untuk merangkai suatu kode Konvolusi berdasarkan jumlah
memori yang digunakan dalam suatu kode Konvolusi selain itu setiap elemen pada
generator polinomial serta jumlah dari fungsi generator polinomial mempengaruhi
:
1.
Jumlah keluaran
(penjumlahan modulo dua)
2.
Panjang memori kode
Konvolusi (jumlah register geser + masukan)
3.
Hubungan koneksi
antara register geser dan penjumlahan modul dua.
Generator polynomial merupakan
salah satu metode untuk menggambarkan matriks yang digunakan pada kode
konvolusi. Generator polynomial ini biasanya ditulis dalam bentuk oktal. Setiap
vektor pada matriks generator memiliki ukuran dimensi Kk dan mengandung garis
hubungan pada encoder menuju modulo 2 adder. Masukan nilai “1” pada posisi I
(baris) dari vektor untuk garis hubungan pada shift register yang menuju modulo
2 adder dengan masukan “0” pada posisi vector jika tidak ada hubungan antara
shift register dengan modulo 2 adder [11] .
Dengan
memperhatikan gambar 2.3 dapt dituliskan generator polynomial g1(x) untuk koneksi output bagian atas dan
g2(x) untuk koneksi bagian bawah, sebagaimana berikut :
g1 (x) = 1 + x+ x² (2.3)
g2 (x) = 1 + x² (2.4)
polinom output yang
dihasilkan karenanya adalah:
c(x) = d(x). g1
(x) (2.5)
yang
muncul berselang seling dengan d(x). g2 (x),
untuk
d = (1 0 1),
maka
d(x) = 1 + x², sehingga,
d(x).
g1 (x) = (1 + x²) (1 + x + x²)
=
1 + x² + x³+ x⁴ = 1 + 1x + 0x² +
1x³+ 1 x⁴ d(x). g2 (x) = (1 + x²)(1 +
x²) = 1 + x⁴
=
1 + 0x + 0x² + 0x³+ 1 x⁴
dan c(x)
= (1,1) + (0,1)x + (0,0) x² + (0,1) x³+ (1,1) x⁴
maka
c = (1 1 0 1 0 0 0 1 1 1)
Diagram Trellis
Proses
pengkodean dengan kode Konvolusi dapat digambarkan dengan diagram trellis. Kode
Konvolusi tersebut mempunyai empat keadaan, yang diletakkan sepanjang sumbu
vertical, sedangkan transisi diantara state-state ini direperesentasikan dengan
garis-garis vertikal dan diagonal yang malang-melintang (menyerupai kisi-kisi
atau teralis) yang bergerak kea rah kanan seiring dengan pertambahan waktu [3].
Gambar 3 Diagram
Trellis
Diagram
trellis di atas menjadi dasar dalam menentukan perubahan keadaan dan keluaran. Apabila
diagram trellis tersebut direpresentasikan ke dalam tabel keadaan dan tabel
keluaran, maka akan dihasikan tabel 2 dan tabel seperti berikut ini :
Tabel 2. Tabel Keadaan
Keadaan saat ini
|
Keadaan selanju input
= 0
|
tnya,
jika
input 1
|
00
|
00
|
10
|
01
|
00
|
10
|
10
|
01
|
11
|
11
|
01
|
11
|
Tabel 3 Tabel Keluaran
Keadaan saat Keluaran,
jika
ini
|
input = 0
|
input 1
|
00
|
00
|
00
|
01
|
11
|
01
|
10
|
10
|
10
|
11
|
01
|
10
|
B. Algoritma Viterbi
Algoritma
Viterbi adalah salah satu algoritma yang dapat digunakan untuk melakukan
prediksi. Algoritma viterbi yang diimplementasikan dengan
persyaratan algoritma ML (Maximum Likelihood) dan secara hard decision ditunjukkan pada gambar 6.
Pengkode konvolusi akan mengkodekan [4] informasi asli,contoh dengan urutan (11010100)
dan menghasilkan keluaran pengkode dengan
code rate 1/2 dengan urutan
(11,01,01,00,10,00,10,11). Hasil pengkode ini selanjutnya dikirimkan
pada kanal transmisi yang tercampur derau. Dan pada bagian penerima dimisalkan
diperoleh urutan kode (10,01,01,01,10,00,10,11). Dari perbandingan kode keluaran pengkode
(encoder) konvolusi dan kode terima pada
pendekode (decoder) viterbi, terlihat
adanya perbedaan yang ditimbulkan oleh derau pada kanal.
Gambar 4 Diagram
trellis pada Hard Decision Decoding
Prosedur
traceback pada pendekode (decoder) terlihat pada diagram trelllis pada gambar
6. Proses traceback ini berawal dari konsep bahwa setiap percabangan (branch)
terkait dengan bit masukan tertentu pada pengkode. Sebagai contoh, percabangan
dari state S2 pada t = 7 menuju state S0 pada t = 8 berhubungan dengan masukan
bit ‘0’ pada pengkode.
C. AWGN (Additive White Gaussian Noise)
AWGN (Additive White Gausian Noise) merupakan
suatu proses stokastik yang terjadi pada kanal dengan karakteristik memiliki
rapat daya spectral noise merata di sepanjang range frekuensi. Noise AWGN merupakan noise
yang pasti terjadi dalam jaringan nirkabel manapun, memiliki sifat-sifat
additive, white, dan gaussian. Sifat additive artinya noise ini dijumlahkan
dengan sinyal, sifat white artinya noise tidak bergantung pada frekuensi sistem
operasi dan memiliki rapat daya yang konstan, dan sifat gaussian artinya
besarnya tegangan noise memiliki rapat peluang terdistribusi gaussian.
Pada
kanal transmisi selalu terdapat penambahan derau yang timbul karena akumulasi
derau termal dari perangkat pemancar, kanal transmisi, dan perangkat penerima.
Derau yang menyertai sinyal pada sisi penerima dapat didekati dengan model
matematis statistik AWGN. Derau AWGN merupakan gangguan yang bersifat Additive
atau ditambahkan terhadap sinyal transmisi,dimodelkan dalam pola distribusi
acak Gaussian dengan mean (m) = 0, standar deviasi (σ) = 1, power spectral
density (pdf) = No/2 (W/Hz), dan mempunyai rapat spektral daya yang tersebar
merata pada lebar pita frekuensi tak berhingga.
D. Modulasi QPSK (Quadrature Phase Shift Keying)
Modulasi
QPSK merupakan salah satu jenis modulasi M - quadrature Amplitude Modulation (QAM)
dengan M=4. Modulasi
Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) memiliki empat simbol yang mempunyai
amplitude sama dengan fase yang berlainan. Keempat simbol tersebut dibentuk
dari grup dua bit input, sehingga diperoleh empat kondisi yang mungkin, yaitu
00, 01, 10 dan 11. Modulasi QPSK merupakan
modulasi yang sama dengan BPSK, tetapi pada QPSK terdapat empat buah
level sinyal, yang merepresentasikan empat kode binary, yaitu ‘00’, ‘01’,
‘11’, ‘10’. Masing-masing level sinyal disimbolkan dengan perbedaan fasa 900.
Modulasi QPSK memilki efisiensi bandwidth dua kali lebih
besar dibandingkan dengan BPSK, karena dua bit dikirimkan pada satu simbol sinyal
termodulasi. Modulasi QPSK [5] terdiri dari dua modulasi BPSK pada fase dan
quadrature komponen sinyal.BER dari masing-masing cabang adalah sama dengan
BPSK, yaitu :
Pb ≈ Q (√2γb) …(1)
Dengan :
γb = Eb / No = d2min / 4 No …(2)
Dimana : γb = perbandingan energy bit dengan noise
Eb
= energy bit
No = kerapatan
noise
d min = jarak antar
simbol
Untuk
probabilitas dari SER (Symbol Error Rate) adalah probabilitas yang lain dari
bit error yang dituliskan dengan rumus:
Ps = 1-[1-Q(√2γb)]² (3)
Dimana :
Sedangkan
pada kondisi energi symbol terbagianatara dua in- phase dan quadrature dimana γs = 2γb, maka persamaan menjadi :
Ps = 1-[1-Q(√γs)]² (5)
E. DSK TMS320C6416T
(DSP Starter Kit)
DSK TMS320C6416T [6] merupakan multi-layer board berukuran 8.75 x
4.5 inch (210 x 115 mm) yang disuplai daya eksternal +5 volt. [7] DSK ini terdiri dari sebuah 1 GHz DSK
TMS320C6416T fixedpoint digital signal processor dan 16 bit stereo codec TLV
320AIC23 untuk input dan output. Codec AIC23 menyediakan ADC dan DAC dengan
clock 12 MHx dan sampling rate 8 – 96 kHz. DSK meliputi 16 MB pada Synchronous
Dynamic Random (SDRAM) dan 256 kB pada flash memory. Terdapat empat konektor
pada DSK untuk input dan output :
-
MIC IN untuk input
dari microphone.
-
LINE IN untuk input
dari function generator,
-
LINE OUT untuk
output , dan
-
HEADPHONE untuk
output pada headphone.
Dip
switch dalam DSK dapat difungsikan sesuai program dan menyediakan fungsi
kontrol. Terdapat pengatur tegangan yang menyediakan 1,26 V untuk processor dan
3,3 V untuk sistem memori dan kelengkapan lain.
Gambar 5.
DSK TMS320C6416T
TMS320C6416 pada DSK
adalah floating point processor yang didasari pada arsitektur VLIW
(Very-Long-InstructionWord). Memori internal meliputi 2 level penyimpanan daya,
yang terdiri dari 32 KB pada level penyinpanan program (L1P) dan level 1
penyimpanan data (L1D), dan 1024 kB pada level 2 pembagian memori antara
program dan data. Selain itu, juga mempunyai sebuah interface untuk memerintah
synchronous dan memori (SDRAM dan SBSRAM) dan asynchronous memori (SPRAM dan
EPROM). Memiliki 8 fungsi atau execution units dalam 6 ALU dan 2 multiplier
units, 32 - bit address bus ke 4 GB (gigabytes) address, dan 2 set 32 - bit general
- purpose registers. [5]
III. PERANCANGAN DAN
IMPLEMENTASI SISTEM
Pada jurnal tersebut, sistem perencanaan yang diimplementasikan
dibuat dalam suatu diagram alur, dengan tujuan agar proses penelitian lebih terstruktur yang
mengacu pada tujuan penelitian yang ingin dicapai. Pada gambar 6 adalah gambar flow chart untuk analisis sistem ini.
Gambar 6. Flow chart pengujian dan analisis sistem
A. Pemodelan Sistem
Untuk memperoleh gambaran yang tepat terhadap
sistem yang diinginkan, maka terlebih dulu sistem tersebut dimodelkan pada
simulink matlab, kemudian implementasi sistem ke DSK TMS tersebut bisa
dilakukan. Beberapa kode konvolusi dan viterbi decode yang digunakan pada
simulink matlab tersebut diantaranya: Bagian blok sumber input,
1.
Bagian blok
pendekode dan pendekode berupa konvolusi kode dan viterbi decode.
2.
Bagian modulasi dan
demodulasi, pada jurnal tersebut digunakan blok QPSK
3.
Blok AWGN (Addictive
White Gaussian Noise)
Pada gambar 7 merupakan sistem yang akan digunakan yang berupa rangkaian
yang digunakan pada pengujian..
Gambar 7
Skema sistem secara umum
B. Simulasi Secara
Teori dan Simulink
Matlab
Simulasi Sistem secara teoritical
Pada jurnal ini, untuk melakukan pengujian system maka menggunakan perhitungan secara teoritis dengan menggunakan
perhitungan rumus BER QPSK. Hal ini dilakukan
agar mampu
menjadi patokan atau acuan bagi pengujian sistem baik secara simulasi dengan
simulink maupun implementasi nantinya.
Untuk mendapatkan nilai BER menggunakan rumus:
Pb ≈ Q (√2γb) …(2.5)
Dengan :
γb = Eb / No = d2min / 4 No …(2.6)
Dimana
: = perbandingan energy bit dengan noise
Eb = energy bit
No = kerapatan noise
d min = jarak antar simbol
Rumus-rumus di atas diolah dengan menggunakan
program matlab untuk memperoleh nilai BER yang dapat di plotting sebagai kurva
acuan.
Simulasi
Sistem dengan Simulink
Pemodelan kode konvolusi dan Viterbi decode
dibuat menggunakan program matlab dengan menggunakan bertool, dengan tujuan
untuk memudahkan proses implementasi, karena perangkat DSK TMS320C6416 dapat
diprogram melalui Simulink Matlab. Selain itu juga untuk memastikan apakah
pemodelan sistem yang dirancang dapat berjalan dengan baik.
C. Implementasi
Sistem dengan sumber sinyal berasal dari dalam
Implementasi
sistem ini menggunakan sumber sinyal yang dibangkitkan dari dalam ,yaitu dengan
menggunakan blok Pulse Generator sebagai sumbernya. Untuk skema pengujiannya
sendiri akan terlihat pada gambar 8.
Gambar 8.
Skema pengujian sistem dengan sumber dari dalam
D. Implementasi Sistem dengan sumber sinyal berasal dari luar
Untuk
skema dari pengaturan hardwarenya sendiri dapat dilihat pada gambar 9
sebagai visualisasi dari sitem yang dibuat.
Gambar
9. Skema pengujian sistem dengan sumber dari luar
IV.
PENGUJIAN DAN ANALISIS SISTEM
A. Pengujian Sistem menggunakan pengkodean dan tidak
menggunakan pengkodean.
Pengujian pada jurnal tersebut dimaksudkan untuk melihat bahwa dengan diberi
encoder dan decoder dengan menggunakan
Konvolusi decoder dan viterbi decoder, memperoleh hasil yang jauh
lebih baik jika dibandingkan tanpa
diberi encoder decoder dalam mendeteksi dan memperbaiki error yang
terjadi.
Gambar
10. Grafik perbandingan BER dengan menggunakan encoder decoder dan tanpa
menggunakan encoder decoder
Dari
gambar grafik di atas terlihat bahwa
terdapat perbedaan antara sistem yang menggunakan encoder decoder dan tanpa
menggunakan encoder decoder. Pada saat Eb/No bernilai 10 dB dengan menggunakan
Konvolusi code dan Viterbi decode BER mampu mencapai nilai 0. Namun tanpa
menggunakan Konvolusi code dan Viterbi decode Eb/No 10 dB hanya bernilai 8.99E-06, hal ini menunjukkan bahwa dengan
menggunakan Konvolusi code dan Viterbi decode error dapat dikoreksi dan
diperbaiki hingga memiliki nilai BER yang minimum. Dan Coding Gain yang
dimiliki ketika BER 10⁻⁵ adalah ≤ 1.5 dB.
B. Pengujian secara simulasi
dan teori
Pengujian secara teori ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang
tepat dari sistem yang dibuat, juga dapat dijadikan acuan dari pengujian
simulasi dan implementasi. Pengujian secara teori ini memanfaatkan menu theoretical
-
bertool pada program Matlab.Nilai Eb/No yang diberikan yaitu antara 0dB – 10
dB. Pengujian simulasi pada jurnal tersebut digunakan input
sebanyak 1000.000 bit,agar keakuratan dari kinerja system ini dapat terjamin.
Menggunakan Konvolusi encoder dengan code rate 1/2 , K = 3, m = 2 dan
pendekodenya adalah Viterbi decoder.
Gambar 11. Grafik perbandingan BER dengan menggunakan teorical dan simulasi
Dari
gambar trafik di atas, terlihat bahwa pengujian dilakukan pada range Eb/No 0 dB
– 10 dB, hal ini karena untuk range tersebut hasil BER yang digunakan sudah
bagus yaitu secara simulasi pada Eb/No 0 dB bernilai 0.0185, dan ketika Eb/No
bernilai 10 dB bernilai 0. Walaupun terjadi perpotongan pada saat Eb/No 3 dB
dengan teori, hal ini karena walaupun sistem dimodelkan sesuai teori namun
tetap saja tidak stabil seperti halnya teori.
C. Pengujian sistem dengan sumber berasal dari dalam
sistem
Gambar 12
Grafik BER dengan sumber berasal dari dalam
Dari
grafik di atas dapat dilihat bahwa ketika pengujian yang dilakukan sebanyak 3
kali, untuk mengetahui rata – rata dari pengujian yang dilakukan. Dengan
implementasi sumber dari dalam menunjukkan hasil yang bagus hal ini karena,
dari hasil pengujian nilai BER mampu mencapai nilai 0 untuk Eb/No 10 dB, hal
ini berarti bit yang dikirimkan sama dengan yang diterima.
D. Pengujian Sistem dengan sumber berasal dari luar sistem
Gambar 13 Grafik BER dengan sumber berasal dari luar
Dari gambar 13 dapat disimpulkan
bahwa untuk kurva BER pengujian berasal dari luar sistem, kurva tidak mampu
mencapai BER bernilai 0. Hal ini karena penggunaan port USB yang digunakan
untuk membaca keluaran dari sistem juga memiliki kelemahan dal;am pembacaan
data implementasi, sehingga dari hasil implementasi untuk Eb/No 10 dB nilai BER
yang dihasilakan hanya mencapai 1.723E-05, hal ini juga karena sumber dari luar
mempengaruhi kinerja dari encoder dan decoder yang digunakan.
V. KESIMPULAN
Pada jurnal ini terdapat beberapa
kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut.
1.
Penelitian pada jurnal ini telah berhasil diiplementasikan konvolusi code dengan code rate 1/2 , K = 3,
m = 2 dan pendekodenya adalah Viterbi
decoder pada DSK TMS320C6416T.
2.
Pengujian pada jurnal ini antara sistem yang menggunakan
encoder decoder dan tanpa menggunakan
encoder decoder pada saat Eb/No bernilai 10 dB dengan menggunakan Konvolusi
code dan Viterbi decode BER mampu mencapai nilai 0. Sedangkan jika tanpa menggunakan Konvolusi code dan Viterbi
decode Eb/No 10 dB bernilai 8.99E-06,
ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan Konvolusi code dan Viterbi decode
error dapat dikoreksi dan diperbaiki hingga memiliki nilai BER yang minimum.
3.
Pengujian secara
simulasi pada jurnal ini dilakukan pada range
Eb/No 0 dB - 10 dB hal ini karena untuk range tersebut hasil BER yang digunakan
sudah bagus yaitu secara simulasi pada Eb/No 0 dB bernilai 0.0815, dan ketika
Eb/No bernilai 10 dB bernilai
4.
Pengujian
implementasi sumber dari dalam menunjukkan hasil yang bagus hal ini karena,
dari hasil pengujian nilai BER mampu mencapai nilai 0 untuk Eb/No 10 dB, hal
ini berarti bit yang dikirimkan sama dengan yang diterima. Grafik implementasi
dengan sumber dari dalam hampir mendekati grafik teori.
5.
Pengujian implementasi
dari luar sistem menunjukkan bahwa kurva BER pengujian berasal dari sistem
luar, kurva tidak mampu mencapai nilai BER 0. Hal ini karena penggunaan port
USB yang digunakan untuk membaca keluaran dari sistem juga memiliki kelemahan
dalam pembacaan data implementasi, sehingga dari hasil implementasi untuk Eb/No
10 dB nilai BER yang dihasilakan hanya mencapai 1.723E-05, hal ini juga karena
sumber dari luar mempengaruhi kinerja dari encoder dan decoder yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Ansori, Achmad. Etc. (2013). Implementasi Convolutional Code dan Viterbi
Decode pada DSK TMS320C6416T. Surabaya.
[2]
G Lin, Shu, &
Costello, Jr., Daniel J. (1983). Error Control Coding: Fundamentals and
Applications. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
[3]
Sklar, Bernard,
1998, “Digital Communication Fundamentals and Applications”, Prentice Hall, New
Jersey.
[4]
cK. Hasnain, A. Beg,
and S.M.G. Monir "Performance Analysis of Viterbi Decoder Using a DSP
Technique," in 8th IEEE International Multitopic Conference
(ITMIC'04), Lahore, Pakistan, 2004, pp.
201-207
[5]
Andrea
Goldsmith, “Wireless Communication”, Cambridge
University Press, 2005.
[6]
“TMS320C6416T
DSK Technical
Reference”.
SPECTRUM DIGITAL, INC. 2004.
[7]
Wilson, Stephen G.
(1996). Digital Modulation and Coding. New Jersey: